Jakarta (Antara babel) - Mantan Panitera/Sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution divonis 5,5 tahun penjara ditambah denda Rp150 juta subsider 2 bulan kurungan karena menerima suap Rp150 juta dan 50 ribu dolar AS untuk mengurus tiga perkara terkait perusahaan Lippo Group di PN Jakpus dan mendapat gratifikasi.
"Menyatakan terdakwa Edy Nasution telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam dakwaan alternatif kesatu pertama dan dakwaan kedua. Menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa Edy Nasution selama 5 tahun dan 6 bulan dan denda Rp150 juta dengan ketentuan bila terdakwa tidak dapat membayar denda maka diganti dengan pidana kurungan selama 2 bulan," kata ketua majelis hakim Sumpeno di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.
Vonis itu lebih rendah dibanding dari tuntutan jaksa penuntut KPK yang meminta agar Edy divonis 8 tahun penjara ditambah denda Rp300 juta subsider 5 bulan kurungan berdasarkan dakwaan kesatu pertama pasal 12 huruf a UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 65 ayat 1 KUHP dan dakwaan kedua dari pasal 12 B UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Hal yang memberatkan, tidak mendukung program pemerintah yang sedang gencar-gencarnya melakukan program pemberantasan korupsi, merusak kehormatan lembaga peradilan. Hal yang meringankan, sopan dan mengakui perbuatannya, belum pernah dihukum, punya tanggungan keluarga yaitu masih membesarkan, mendidik dan membiayai anaknya, terdakwa sudah lama mengabdi sebagai PNS," tambah anggota majelis hakim Yohanes Priyana.
Hakim juga meluluskan permintaan Edy Nasution untuk mengembalikan sejumlah barang milik Edy yang disita KPK.
"Pembelaan terkait uang 3.000 dolar AS, 1.800 dolar Singapura dan Rp2,3 juta karena tidak terkait dengan objek OTT dan jumlahnya relatif kecil lagipula terdakwa masih punya tanggungan anak yang masih sekolah dan tidak ada penghasilan lain selain sebagai PNS sehingga menurut majelis pantas dan adil barang bukti tersebut dikembalikan kepada terdakwa," kata hakim Yohanes.
Hakim pun mengembalikan 1 unit mobil CRV B 1077 TLB atas nama Ika Pratiwi, paspor atas nama Edy Nasution sebanyak 2 buah, 1 handphone Iphone Gold, Nokia E90.
"Mobil CRV B 1077 TL atas nama Ika Pratiwi di samping digunakan untuk transprotasi sehari-hari lagipula pemeriksaan perkara ini sedah selesai maka wajar dan adil barang bukti tersebut dikembalikan ke anak terdakwa Ika Pratiwi melalui terdakwa," tambah hakim Yohanes.
Menurut hakim yang terdiri atas Sumpeno, Yohanes Priyana, Sinung Hermawan, Sigit dan Tuti, Edy hanya terbukti menerima uang Rp100 juta, 50 ribu dolar AS dan uang Rp50 juta, namun terhadap penerimaan Rp1,5 miliar untuk merevisi penolakan permohonan eksekusi tanah PT Jakarta Baru Cosmopolitan (JBC) agar Edy melakukan pengurusan perubahan redaksional (revisi) surat jawaban dari PN Jakarta Pusat untuk menolak permohonan eksekusi lanjutan dari ahli waris, tidak terbukti.
Dalam tuntutan JPU KPK disebutkan bahwa bagian legal PT Artha Pratama Anugerah Wresti Kristian Hesti meminta Edy untuk melakukan revisi surat jawaban PN Jakpus dari "belum dapat dieksekusi" menjadi "tidak dapat dieksekusi". Edy disebut bersedia membantu pembatalan eksekuti lanjutan tapi meminta Rp3 miliar untuk biaya turnamen tenis. Wresti menyampaikan ke komisaris Lippo Grup Eddy Sindoro dan Ervan Adi Nugroho selaku Direktur PT JBC dan Paramount yang merupakan bagian dari Lippo Group dan akhirnya disetujui pemberian Rp1,5 miliar.
Namun uang itu menurut hakim tidak dapat dibuktikan apakah sudah diterima oleh Edy Nasution atau belum karena baik pegawai PT Artha Pratama Anugerah Dody Aryanto Supeno sebagai kurir yang menyerahkan uang, Ervan sebagai orang yang mengeluarkan uang, serta Edy Nasution sebagai penerima tidak mengakuinya.
"Keterangan Dody yang menerangkan tidak pernah mengambil Rp1,5 miliar dari Ervan, saksi Nurhadi juga menyangkal meminta uang untuk turnamen tenis, walau Nurhadi membenarkan ada turnamen tenis tapi penyelenggaraan menggunakan iuran anggota. Apabila dimaknai penyerahan uang dari Dody pada 26 Oktober 2016 di hotel Acacia baru sebatas anggapan. Majelis kesulitan untuk meyakini apakah Dody benar mengantarkan uang Rp1,5 miliar di hotel Acacia karena tidak ada barang 1,5 miliar yang disita, sebagai perbandingan lain halnya Rp50 juta yang diserahkan di 'basement' hotel Acasia cukup jelas dan terang dalam OTT KPK," kata hakim Yohanes Priyana.
Penerimaan kepada Edy yang terbukti adalah uang Rp100 juta untuk penundaan teguran (aanmaning) perkara niaga PT MTP melawan Kymco sesuai putusan Singapura International Arbitration Centre (SIAC) yang diharuskan membayar ganti rugi sebesar 11.100 dolar AS.
"Penyerahan uang Rp100 juta itu ada dan dapat dibuktikan selain diakui oleh terdakwa di persidangan meski di BAP dalam sidang sebagai saksi di perkara Dody Aryanto Supeno terdakwa mencabut keterangan tapi pencabutan itu tidak punya alasan kuat. Bukti lain rekaman percakapan dan 'print out' karcis parkir dan keterangan supir terdakwa menunjukkan pertemuan terdakwa dengan Dody untuk menerima uang," tambah hakim Yohanes.
Penerimaan ketiga adalah uang 50 ribu dolar AS untuk pengurusan Peninjauan Kembali (PK) PT Across Asia Limited (AAL) yang diputus pailit oleh mahkamah agung melawan PT First Media. Edy pun menerima uang dari salah satu kuasa hukum yang baru dari Law Firm Cakra & Co yaitu Austriadhy 50 ribu dolar AS yang terbungkus dalam amplop warna coklat
"Eddy Sindoro pernah bertemu dengan Nurhadi menanyakan kenapa berkas perkara belum dikirimkan dan Nurhadi sempat menelepon terdakwa Edy Nasution untuk mempercepat pengiriman berkas perkara PK namun Nurhadi mengatakan itu dalam rangka pengawasan dan Nurhadi dalam sidang mengatakan menyampaikan pesan itu karena Nurhadi adalah sekretaris MA yang bertanggung jawab untuk penyelsaian perkara. Terdakwa juga mengakui menerima 50 ribu AS dari Dody dimana uang tersebut ada kaitannya dengan pengurusan dengan perkara Lippo," tambah hakim Yohanes.
Dari jumlah 50 ribu dolar AS sebesar 4.000 dolar Singapura diberikan kepada anak buahnya Sarwo Edi dan Irdiansyah dan selanjutnya diberikan ke KPK.
Keempat, penerimaan Rp50 juta untuk pengurusan perkara lain pada 20 April di hotel Acacia.
"Rp50 juta diberikan pada 20 April melalui Dody Aryanto Supeno di hotel Acacia karena masih ada perkara Lippo Grup yang diurus di PN Jakpus," ungkap hakim Yohanes.
Dalam dakwaan kedua, Edy terbukti menerima gratifikasi senilai Rp10,35 juta, 70 ribu dolar AS dan 9.852 dolar Singapura dan tidak dilaporkan ke KPK.
"Terdakwa tidak pernah melaporkan ke KPK hingga batas waktu 30 hari sebagaimana diatur pasal 12 C UU 31/1999 sebagaimana diubah UU 20/2001. Dari jumlah itu 50 ribu dolar AS diakui adalah dari penasihat hukum PT AAL sedangkan 20 ribu dolar AS, Rp10 juta dan 9.852 uang dolar singapura di meja dan dompet terdakwa, terdakwa tidak bisa membuktikan berasal dari penerimaan yang sah dan wajar sesuai dengan pasal 12 B sehingga majelis kesulitan meyakini uang itu diperoleh secara sah. Majelis meyakini uang-uang yang diterima terdakwa sebagai gratifikasi yang harus dianggap sebagai suap," kata hakim Sigit.
Atas putusan tersebu Edy menerimanya.
"Saya menerima putusan," kata Edy.
Sedangkan JPU KPK masih berpikir hingga masa 7 hari.
Terkait perkara ini, Dody Aryanto Supeno sudah divonis penjara selama 4 tahun ditambah denda Rp150 juta subsider 3 bulan kurungan.
Edy Nasution Divonis 5,5 Tahun Penjara
Jumat, 9 Desember 2016 1:11 WIB